Selamat Hari Ibu, Mengenang Dua Srikandi Aisiyah Siti Mundjiah dan Siti Hajinah
Oleh Nurbani yusuf
(Komunitas Padhang Makhsyar)
Dua perempuan paruh baya. Cerdas kaya wawasan dan berpikir jauh ke depan melampaui jamannya. Hidup di suatu jaman ketika perempuan selalu dimarjinalkan. Tidak beruntung dan tak boleh maju. Siti Mundjiah dan Siti Hajinah, dua Srikandi Aisyiyah Penggagas Kongres Wanita Indonesia pertama tanggal 22 Desember tahun 1928 di Jogjakarta.
Sebuah perjuangan panjang kaum perempuan Indonesia di tengah tekanan kuat tradisi dan kebiasaan yang tidak ramah terhadap perempuan. Perempuan itu hanya suplemen : konco wingking.
Ini bukan hanya sekedar soal doa terhadap ibu. Lebih pada sebuah pengakuan tentang eksistensi perempuan yang kalah. Tidak dihitung dan marjinal. Perempuan yang terus melawan ketidak adilan humanitas yang melemahkan dan hegemoni laki-laki.
Kongres Perempoean adalah pertanda kebangkitan perempuan Indonesia : Kesadaran dan keinsafan untuk melawan ketidak berdayaan. Ibu adalah tiang negara bila baik ibunya akan baik negaranya dan sebaliknya.
Kesadaran inilah yang ditangkap para perempuan pada paruh pertama abad 20. Di tengah ilusi kebangkitan peradaban. Para ibu yang dengan sadar dan insyaf merenungi tentang kesejatiannya.
Siti Mundjiah dan Siti Hajinah, dua ikon perempuan berhijab mewakili Perkoempoelan Aisiyah kala itu. Berinteraksi dengan lingkungan membangun kesadaran humanitas dan fitrah.
Ide dan gagasan memang tak selamanya bisa dipungut mudah. Ketika sekelompok perempuan terpelajar di Kerajaan Saudi Arabia tengah berjuang melawan diskriminasi. Betapa susahnya untuk sekedar mendapat surat ijin mengemudi dan duduk di bangku kuliah. Perempuan Indonesia sudah melakukannya se-abad lampau.
“22 Desember adalah hari dimana perempuan Indonesia bangkit berdiri ingin menjadi baik. Itu substansinya.”