Inspirasi Kehidupan : Pandangan Muhammadiyah Terhadap Dampak Lingkungan
Oleh Atallah Daffa Jawahir, Apriliano Rofi Pradana Putra, Alfian Ar Rasyid, Safinatul Lailiyah, Adi Swandana Erlangga Putra, Achmad Muhammad Iqbal. I. I. L.
(Peserta Pelatihan Instruktur Madya DPD IMM Jawa Timur membahas peran Muhammadiyah dalam menjaga lingkungan)
Dalam situasi krisis ekologi global hari ini, komitmen negara terhadap perlindungan lingkungan seharusnya menjadi pondasi dalam setiap kebijakan pembangunan. Namun hasil kajian Muhammadiyah melalui Majelis Lingkungan Hidup mengatakan bahwa di negara Indonesia terhadap perlindungan lingkungan hidup semakin melemah bahkan nyaris absen dalam praktik kebijaksanaan dan pelaksanaannya.
Sesuai amanah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar yang mengamanatkan partisipasi aktif kepada seluruh komponen Muhammadiyah dalam penanganan isu-isu Strategis Keumatan (hidup bersih dan sehat), Kebangsaan (kekurangan dan kelebihan air) dan Kemanusiaan Universal (perubahan iklim). Berbagai program telah disusun dan dilaksanakan oleh Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, baik yang sifatnya konseptual maupun praksis.
Majelis Lingkungan Hidup sejak berdirinya juga telah menyelesaikan beberapa rumusan penting mengenai pemikiran teologis dan gagasan di bidang lingkungan hidup. Rumusan tersebut dikemas dalam sebuah buku “Teologi Lingkungan” kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup RI. Di samping itu, telah merumuskan juga konsep Green School, pedoman-pedoman praktis pengelolaan lingkungan hidup, dan booklet-booklet dalam rangka kampanye lingkungan hidup.
Berdasarkan seruan Al-Qur’an yang tertuang dalam surah Al Baqarah ayat 11-12, yang artinya :“Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari”.
Begitu juga dalam Q.S. Ar Rum ayat 41, Allah SWT mengingatkan, yang artinya :“Allahlah yang menciptakanmu, kemudian menganugerahkanmu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara mereka yang kamu persekutukan (dengan Allah) yang dapat berbuat sesuatu yang demikian itu? Mahasuci dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan”.
Melalui Sekretaris Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Djihadul Mubarok, SE., MH., menegaskan bahwa eksploitasi lingkungan di wilayah yang dikenali sebagai salah satu surga biodiversitas dunia adalah praktik pengabaian terhadap keberlangsungan lingkungan hidup dan warisan di alam di Indonesia.
Menurutnya, keberadaan tambang nikel di wilayah pasir dan pulau-pulau kecil di Raja Ampat berpotensi merusak ekosistem laut, terumbu karang, dan kawasan konservasi yang menjadi daya tarik utama wisata bahari di Indonesia.
Jalan Menuju Keadilan Ekologis
Pertama, Regulasi seringkali dimanipulasi untuk memberi ruang legal bagi aktivitas ekstraktif, termasuk dengan mengubah status kawasan dari konservasi menjadi area penggunaan lain (APL).
Kedua, Masyarakat lokal termasuk adat kerap diabaikan dalam proses pengambilan keputusan. Konsultasi publik hanya dilakukan sebagai formalitas. Padahal, merekalah yang paling terdampak oleh kerusakan ekologis baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya.
Ketiga, Ada pembiaran terhadap pelanggaran hukum lingkungan. Perusahaan yang terbukti mencemari lingkungan atau merusak kawasan hutan tetap bebas beroperasi.
Kajian ini tidak hanya menjadi alarm bagi pembuat kebijakan, tetapi juga menjadi dasar untuk menyerukan perubahan paradigma. Kita perlu mendesak penghentian segala bentuk aktivitas ekonomi yang terbukti merusak lingkungan, terutama di kawasan konservasi.
Peninjauan ulang izin usaha yang diterbitkan tanpa melalui proses AMDAL yang partisipatif dan ilmiah. Hingga yang paling penting, perlu ada keberanian politik untuk mengembalikan arah pembangunan kepada prinsip keadilan ekologis dan kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya.
Menjaga lingkungan bukanlah soal romantisme hijau, melainkan persoalan hidup dan mati. Jika negara terus memihak pada modal dan membiarkan kerusakan lingkungan meluas, maka yang dipertaruhkan bukan hanya ekosistem, tapi keberlangsungan bangsa itu sendiri.
“Kini saatnya kita bertanya: untuk siapa negara ini bekerja? Untuk bumi yang lestari, atau kekuasaan yang sementara.”