Mojokerto, liputanmu – Semangat untuk membangun budaya Sekolah yang inklusif, progresif, dan mencerahkan terlihat di Grand Whiz Trawas. Sebanyak 27 guru dan karyawan Sekolah Berbasis Pesantren, Boarding School SMP Muhammadiyah 4 (Spempat) Surabaya mengikuti Penutupan Rapat Kerja Tahun Ajaran 2025-2026 yang berlangsung pada 1-2 Juli 2025.
Puncak acara diwarnai dengan motivasi dari Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Wonokromo, Ustadz Ir. Lukman, yang mengaitkan tema sentral rapat kerja dengan hikmah dari kisah-kisah epik Kho Ping Ho, Sang Maestro cerita silat legendaris. Ia hadir bersama Wakil Ketua PCM Wonokromo, Ustadz Taufik Hidayanto, A.Md.
Menguak Hikmah di Balik Jurus Pendekar
Dalam sambutannya yang menginspirasi, Ustadz Ir. Lukman mengajak hadirin untuk merenungkan perjalanan para tokoh dalam cerita Kho Ping Ho. Ia menyoroti bagaimana minimnya rasa optimisme dan ketakutan sebelum mencoba sering kali menjadi penghalang utama bagi para pendekar di awal petualangan mereka.
“Berapa banyak dari kita yang merasa tidak mampu sebelum bahkan melangkah? Atau takut gagal sebelum mencoba jurus baru?” tanya Lukman, disambut anggukan para hadirin.
“Karakter-karakter Kho Ping Ho, seperti Thio Bu Ki atau Yo Ko, pada awalnya juga dihadapkan pada keraguan diri, cibiran lingkungan, dan musuh yang jauh lebih perkasa. Mereka sempat terbelenggu oleh ketakutan akan kegagalan, takut akan perubahan, bahkan trauma masa lalu.” Ungkapnya.
Namun, lanjut Lukman, kekuatan sejati para pendekar tersebut terletak pada kemampuan mereka untuk mengatasi belenggu internal ini.
“Ada titik balik dalam setiap kisah. Pemicu yang memaksa mereka bangkit, entah itu kematian orang terkasih, ketidakadilan yang tak tertahankan, atau bimbingan dari seorang guru bijaksana. Ini yang kita sebut ‘satu visi, satu aksi’ dalam konteks kita hari ini.” Tegasnya.
Guru dan Karyawan sebagai Pendekar Inklusif, Progresif, dan Mencerahkan
Ustadz Lukman kemudian menarik relevansi kisah tersebut dengan peran guru dan karyawan dalam membangun Sekolah.
“Satu visi kita adalah menciptakan Sekolah yang inklusif, di mana setiap siswa merasa diterima dan dihargai, tanpa memandang latar belakang. Ini seperti pendekar yang merangkul semua jurus dan aliran demi kebaikan bersama.” Tandasnya.
Ia melanjutkan, “Satu aksi kita harus progresif. Jangan takut mencoba metode pengajaran baru, inovasi dalam manajemen, atau teknologi terkini. Ingatlah bagaimana para pendekar Kho Ping Ho terus belajar dan mengembangkan ilmu mereka. Proses belajar itu seringkali menyakitkan, penuh kegagalan, tapi itulah yang menempa mereka menjadi tangguh.” Katanya.
Terakhir, Lukman menekankan pentingnya menjadi pribadi yang mencerahkan.
“Guru dan karyawan adalah pelita bagi siswa. Kita harus mampu memberikan pencerahan, tidak hanya dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam moral dan budi pekerti. Ini selaras dengan tujuan para pendekar sejati yang tidak hanya kuat, tetapi juga berhati mulia dan membela kebenaran.” Pungkasnya. (Taufiqurrahman).